Senin, 17 November 2008

DOSA MENURUT ALKITAB

DOSA

A. Etimologi Kata Dosa

Dalam pembahasan ini diupayakan meninjau masalah dosa dalam berbagai aspeknya, sebab hal ini adalah tugas dogmatika. Dalam Alkitab ( PL dan PB ) dapat ditemukan banyak kata yang menunjuk kepada istilah dosa dan yang dalam bahasa Indonesia lebih sering diterjemahkan "dosa".

Ada 8 kata dalam Perjanjian Lama (Ibrani) yang menunjuk istilah dosa ini :

- Khata artinya tidak mengenai sasaran, bahkan mengenai sasaran lain. (sepadan dengan hamartano dalam PB)

- Ra artinya menghentikan atau menghancurkan ( sepadan dengan kakos, poneros dalam PB )

- Pasha artinya pemberontakan atau sering diterjemahkan "pelanggaran".

- Awon , kata ini mencakup pengertian perbuatan salah atau rasa bersalah.

- Shagag berarti melakukan kesalahan atau penyimpangan ( seperti yang dilakukan seorang pemabuk atau domba ).

- Asham, kata ini berkenaan dengan kesalahan yang dilakukan di bait Allah atau Tabernakel.

- Rasha berarti kejahatan, kata ini lawan kebenaran.

- Taah, arti kata ini adalah menyimpang atau tersesat , dosa yang dilakukan secara sengaja.

Adapun dalam Perjanjian Baru ada 12 kata yang menunjuk istilah dosa ini.

- Kakos, artinya buruk (tidak baik), kata ini kadang-kadang menunjuk keadaan fisik yang buruk seperti penyakit.

- Poneros, ini merupakan istilah dasar untuk kejahatan dan hampir selalu menunjuk kepada kejahatan moral.

- Asebes, artinya tanpa Allah.

- Enokhos, berarti kesalahan dan biasanya menyatakan seseorang yang melakukan kejahatan sehingga patut dihukum mati.

- Hamartia, artinya luncas, tidak kena sasaran. kata ini paling banyak digunakan dalam PB.

- Adikia, kata ini berarti setiap tingkah laku yang tidak benar dalam arti yang sangat luas. Kata ini untuk menyatakan orang-orang yang belum diselamatkan. Kata ini juga menunjuk kepada suatu keadaan hati/pikiran.

- Anomos, seringkali kata ini diterjemahkan "kedurhakaan".Kata ini berarti melanggar hukum dalam arti yang luas.

- Parabates, artinya pelanggar hukum atau orang berdosa ; Biasanya dihibungkan dengan pelanggaran khusus terhadap hukum.

- Agnoein, kata ini berhubungan dengan ibadah yang keliru yang ditujukan kepada Allah lain.

- Planao, kata ini berarti menyimpang atau tersesat dalam arti sebagai perbuatan yang patut dicela.

- Paraptoma, kata ini mengandung arti pelanggaran yang dilakukan secara sengaja.

- Hipokrisis, kata ini lebih mendekati pengertian munafik dalam bahasa Indonesia.

Melihat sedemikian banyak kata yang menunjuk kepada istilah dosa baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, maka sukarlah kita memformulasikan pengertian dosa secara singkat tetapi sudah mencakup seluruh pengertian yang terkandung didalam istilah dosa ini.

B. Pengertian Dosa

Walaupun tidak mudah untuk menyusun secara redaksinal kalimat yang menunjuk pengertian istilah dosa ini , tetapi dari hasil eksplorasi terhadap Alkitab dapat ditemukan pengertian dosa ini.

1.Dosa adalah tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah.

Kalimat diatas ini mempunyai pengertian yang luas.

- Bagi bangsa Israel ini berarti "kesesatan", yaitu bahwa mereka telah memilih jalannya sendiri ( Yesaya 53:6 - "taah".) Dosa ini berarti tindakan pemberontakan (Hubungkan dengan Lukas 15:11-32) Dalam hal ini harus dimengerti bahwa perumpamaan ini ditujukan khusus untuk umat Israel). Dalam kisah anak yang terhilang yang menjadi tekanannya bukan pada pemborosan si anak bungsu, tetapi penolakan si bungsu untuk hidup sesuai dengan rencana bapaknya, penolakannya untuk bertindak sebagai seorang anak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini harus dimengerti bahwa ada rencana agung/pengaturan yang diberlakukan bagi "umat pilihan Allah". Paulus memakai kata "parabasis" sebanyak 5 kali, dan dari pemakaian itu diperoleh kesan bahwa dosa adalah gerakan membelok dari jalan yang lurus. Roma 2:23 menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi telah melanggar hukum Taurat. Hukum itu telah menetapkan patokan dan orang-orang Yahudi tidak mematuhinya.

- Bagi umat perjanjian Baru , dosa berarti suatu "keluncasan" ( tidak mengenai sasaran - hamartia).Kata ini paling banyak digunakan dalam Perjanjanjian Baru ( 296 kali ). Hamartia lebih luas artinya dari pada adikia - " kejahatan ". Sebenarnya kata ini tidak mengandung makna "kejahatan" melainkan hanya kekeliruan atau pengaruh takdir. Istilah yang lain ialah "parabasis" yang berarti melangkah ke samping, yaitu menyimpang dari jalan yang benar, biasanya istilah ini diterjemahkan dengan kata "pelanggaran" ( Roma 2:23 ;4:15 ; Gal 3:19 ).Kata yang agak berhubungan dengan gagasan ini adalah kata "anomia" Dalam hal ini harus ditegaskan bahwa ada "moral yang diperuntukkan bagi warga kerajaan sorga". Moral itu bertolak dari patokan yang tidak dapat direduksi yaitu"seperti Bapa" ( Mat 5:48 ). Keluncasan ini dalam tingkat tertentu menjadi suatu tindakan yang tidak dapat ditoleransi lagi oleh Allah, yaitu sebuah kedurhakaan .

- Bagi umat non-Yahudi ( Gentile ) dosa berarti ketidak tahuan . Diungkapkan dalam Injil bahwa bangsa-bangsa yang tidak mendengar injil adalah bangsa- bangsa yang hidup dalam kegelapan ( Matius 4:15-16 ). Kegelapan ini dimengerti sebagai "tidak ada terang", oleh sebab itu Yesus datang sebagai terang ( Yoh 1:4,5,9 ; 8:12; 1 Yoh 2:8 dll ).Terang inilah yang ditawarkan kepada manusia, supaya manusia menerimaNya. Dalam Yohanes 15:22 dan 15:24 yang memuat pernyataan bahwa kedatangan dan karya Yesus merupakan dasar pertimbangan terhadap dosa. Jelaslah disini bahwa dosa yang dipermasalahkan disini adalah sikap mereka terhadap Yesus. Pada akhirnya dosa adalah "penolakan terhadap Terang " itu.

Dari ketiga butir penjelasan diatas dapatlah disimpulkan bahwa dosa merupakan keterasingan manusia dari Allah oleh karena manusia tidak hidup seturut kehendak Allah.

2. Dosa bukan hanya menunjuk terhadap tindakan lahiriah manusia tetapi dosa juga bersifat batiniah. (Adikia)

- Dalam Alkitab sangat jelas ditunjukkan perhatian Tuhan Yesus terhadap praktek kehidupan orang parisi yang sangat dikecam oleh Yesus. ( Matius 23 : 25 - 26 ). Dalam Roma 1:29-31, menggambarkan dengan baik gabungan antara dosa lahiriah dan batiniah. Beberapa hal dalam daftar ini dapat dibuktikan secara obyektif, seperti pembunuhan, perselisihan, dan suka mengumpat. tetapi yang lain seperti kedengkian, tidak berakal, tidak setia, tidak penyayang dan tidak mengenal belas kasihan termasuk sikap dan bukan tindakan, walaupun hal itu tentu saja terlihat darui tindakan-tindakan. Banyak ayat lain yang menunjuk hal ini. Jelaslah bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar diantara berbagai jenis dosa, mulai dari tindakan kriminal seperti pembunuhan, sampai kepada sikap hati, seperti rasa iri atau benci. Jelaslah disini dosa ditafsirkan secara jauh lebih luas jangkauannya dari pada istilah-istilah secara hukum. Sifat dosa secara batiniah tidak selalu mudah diketahui oleh manusia, tetapi Allah mengetahui dan menghakimi keinginan batin itu sama seperti Ia mengetahui dan menghakimi perbuatan-perbuatan secara lahiriah.

- Lukas 18:9-14 ditunjukkan suatu perumpamaan yang sangat ironis sekali terhadap sikap hidup orang parisi yang selama itu dipandang sebagai manusia suci yang berstandard moral tinggi. Pemungut cukai dibenarkan, tetapi sebaliknya orang parisi tidak. Disini jelaslah bahwa Tuhan meneliti sikap hati seseorang lebih dari fakta lahiriahnya. Kesombongan yang bertahta dihati orang farisi telah menghapus segala kebaikan lahiriahnya. Tetapi sebaliknya kerendahan hati pemungut cukai menghapus segala kebejatan yang nampak pada fakta lahiriahnya.

C. Akibat Dosa.

Tentu akibat fatal dosa adalah maut seperti yang ditulis oleh Alkitab berkali- kali ( Roma 6:23 dll ). Namun selain maut perlu kita mengamati beberapa hal yang merupakan relasional dosa dalam hidup manusia, yang harus diamati oleh etika sebab hal ini ada di wilayahnya.

- Dosa warisan.

Yang dimaksud dengan dosa warisan adalah keberadaan dosa manusia yang dibawa sejak lahir. Kenyataan ini nampak dari adanya "tindakan dosa" yang dilakukan seorang anak sekalipun ia tidak pernah diajar berbuat dosa. ( Ef 2:3 ; Maz 51:7 )

- Kerusakan total.

Kalimat "kerusakan total" ini tidak bermaksud menjelaskan bahwa manusia dalam keberadaannya telah mengalami kerusakan dalam perbuatannya, sehingga tidak ada "dorongan alami" mencari Allah . Juga tidak berarti bahwa manusia sama sekali tidak dapat berbuat baik ( non posse non peccare ) , dan semata-mata hanya dapat berbuat dosa ( band : Roma 2: 14 - 16 ). Kerusakan total hanya hendak menjelaskan bahwa manusia dalam keberadaannya tidak dapat mencapai standard yang dikehendaki Allah. Dalam hal ini Allah bermaksud untuk memugar apa yang telah rusak ( restitutio imaginis dei ). Bandingkan : Manusia diciptakan menusrut gambar dan rupa Allah ; Tselem dan demuth . Menurut Calvin Tselem artinya "gambar" yang didalamnya berisi akal kehendak, pribadi manusia. Unsur ini tidak dapat hilang. tetapi demuth yang diterjemahkan "rupa" dalam bahasa Indonesia dapat hilang. Unsur inilah yang dipugar Allah. Emil Bruner membedakan gambar Allah yang formal dan material . yang formal tidak dapat hilang , tetapi materialnya sudah hilang/rusak.Gambar Allah yang material tidak dimiliki manusia lagi, yaitu konformitasnya dengan Allah.

Kejatuhan manusia didalam dosa tidak menghilangkan kebebasan dan tanggung jawab manusia. manusia tetap beriri sebagai mahluk yang harus bertanggung jawab kepada Allah ( Roma 14:12 )

Tambahan :

Asal dosa bukanlah akibat ketidak tahuan seperti pandangan agama Hindu. Bukan karena nafsu yang menggerakkan proses "menjadi " ada.Bukan pula karena dewa atau adanya allah yang jahat ( Marcion dan Manicheisme ), bukan pula karena "berasalnya manusia dari binatang " ( teori evolusi biologis ).Didalam semua pandangan ini manusia tidak dinyatakan sebagai "keadaan tertuduh ".

Harus ditegaskan bahwa manusia adalah sebagai "yang tertuduh " karena manusia telah melanggar Firman Tuhan. Namun pula harus diberi catatan disini bahwa pelanggaran itu diawali bukan dalam diri manusia tetapi dari luar, yaitu bujukan dari luar dalam hal ini "ular" untuk berbuat dosa.Inisiatip untuk berbuat dosa berangkat dari oknum "luar" yang telah lebih dahulu memberontak kepada Allah. Dengan demikian dosa manusia dimanapun juga selalu dua jenis sifatnya :

1.Unsur pasif , manusia dibujuk,digoda, diseret oleh bujukan .

2.Unsur aktif, manusia mengatakan ya terhadap bujukan itu.

Oleh karena dosa sebenarnya bukan berasal dari manusia itu sendiri maka manusia masih dibimbing dan diluruskan oleh Allah dan diampuni.

Inti dosa manusia mirip dengan dosa iblis,manusia ingin melepaskan diri dari ikatannya dengan Tuhan., manusia berniat menyamai Allah.Tidak mempermuliakan dan mengabdi kepada Tuhan. Hal ini menjadi kerusakan kehancuran moral.

Harus diakui selanjutnya Alkitab juga menjelaskan mengenai pembedaan dosa- dosa. Ada dosa yang tidak disadari dan dosa yang disadari. Dosa yang tidak dapat diampuni dan dosa yang dapat diampuni. Dosa yang mendatangkan maut dan dosa yang tidak mendatangkan maut. ( Mark 3:29; Luk 12;10 ; I Yoh 5:16 ). Dalam mengadakan pembedaan ini janganlah kita tergelincir kedalam pengertian dosa secara kwantitatif, pembedaan dosa harus dipandang secara kwlitattif, sebab soal dosa adalah pengertian batiniah. Gereja Protestan menentang dosa kwantitas menurut konsep agama Roma Katolik. Pembedaan dosa dalam gereja Roma Katolik ini nampak dalam beberapa hal misalnya : Dosa sehari- hari dan dosa besar, dosa-dosa didalam hati dan dosa-dosa pokok.Didalam pembedaan dosa ini tampaklah bahwa dosa dipandang sebagai pengertian moral semata-mata. Harus diingat bahwa manusia tidak hanya berdosa saja tetapi dihadapan Allah iapun seorang berdosa didalam keseluruhan hidupnya.

Kemudian yang harus diterima bahwa tiap-tiap dosa terhadap manusia adalah dosa terhadap Allah, dan setiap dosa kepada Allah adalah dosa kepada sesama manusia.Dalam hal ini nyatalah adanya garis vertikal dam horisontal.

D. Kutuk

Dewasa ini gereja-gereja Tuhan sedang dibanjiri oleh berbagai pengajaran- pengajaran baru yang disertai berbagai praktek-praktek pelayanan dengan segala fenomenanya. Diantara pengajaran-pengajaran tersebut yang cukup trendy adalah hal kutuk. Pokok bahasan ini ternyata telah menimbulkan perdebatan yang cukup seru dikalangan para hamba-hamba Tuhan dan theolog- theolog. Sementara berbagai pandangan pro dan kontra sekitar "kutuk" ditampilkan, pengajaran hal kutuk ini tetap berkembang dan cenderung konsumtif. Melalui makalah sederhana dan ringkas ini diharapkan kita dapat menemukan pijakan pemikiran yang theologis Alkitabiah sebagai bantuan terhadap pemahaman dalam pemikiran kita.

Kata kutuk dalam bahasa Indonesia mempunyai pengertian: kena laknat, celaka dan perkataan yang menimbulkan bencana. Kata ini dalam bahasa Inggris diterjemahkan curse. Meneliti Alkitab ada beberapa kata yang diterjemahkan kutuk dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Ibrani kata yang memiliki pengertian kutuk adalah:

1. arar, qalal dan ala. Kata-kata ini memiliki pengertian yang paralel dengan beberapa kata dalam bahasa Yunani yaitu:kataromai, katara dan epi kataratos. Kata "ara, qalal dan ala" diterjemahkan dalam bahasa Indonesia "pengutukan". Jika Allah mengucapkan kutuk itu berarti :

a. Celaan atas dosa.

b. PenghukumanNya atas dosa (Kej 8:21)

c. Penderitaan yang ditimpakan atas orang yang menerima kutuk.

2. Kekherim dan kherem berasal dari akar kata kharam yang arti katanya adalah "mengucilkan dari masyarakat". Kata-kata ini memiliki pengertian yang paralel dengan kata dalam bahasa Yunani anathematizo dan anathema. Kalau Allah mengucapkan kutuk itu berati:

a. Hukuman mati yang tidak dapat dielakkan (Im 27:29).

b. Pengrusakan total. Biasanya ini berkaitan dengan murka Allah (Yes 34:5).

c. Penghakiman Allah terhadap orang berdosa yang tidak bertobat (Mal 4:6. band. Gal 1:8-9; 1Kor 16:22).

Dari penjelasan mengenai kutuk ditinjau dari etimologinya maka dapat disimpulan bahwa kutuk berkaitan dengan dosa atau pelanggaran umat, kutuk merupakan buah hukuman akibat dosa atau pelanggaran terhadap Firman Tuhan. Kutuk mengakibatkan manusia hidup jauh dari persekutuan dengan Tuhan dan segala berkatNya.

Dalam Alkitab kita menjumpai kenyataan bahwa kutuk ditujukan kepada umat Allah yang tidak melakukan kehendak Allah, umat yang memberontak dan menolak hidup dalam ketaatan. Dalam Ulangan 28 ditampilkan jelas hal kutuk ini, bahwa ketaatan kepada Tuhan mendatangkan berkat tetapi ketidak taatan mendatangkan kutuk (Ul 27:11-26). Ini adalah kutuk yang dapat dialami seseorang apabila tidak taat. Segala bentuk penyimpangan dari apa yang Tuhan tetapkan adalah pelanggaran yang mendatangkan kutuk.

Pada prinsipnya kutuk dialami seseorang akibat perbuatannya yang melanggar Firman Tuhan dan hukumNya. Namun ada pula kutuk yang dialami seseorang oleh karena kesalahan orang tua atau nenek moyang. Ternyata ada dosa- dosa tertentu yang membuat keturunan ikut menanggung dosa orang tua. Hal ini terjadi bila:

1. Dosa-dosa khusus orang tua atau nenek moyang. Misalnya: Keturunan Ham menjadi hamba (Kej.9:18-28), keturunan Gehazi karena dosa Gehazi (2Raj 5:26-27), keturunan bangsa Israel yang menyalibkan Yesus (Mat 27:25).

2. Dosa orang tua dalam menyembah berhala dikalangan umat Allah dll (Kel 20:4-6; Ul 5:6-9).

Terdapat pula satu jenis dosa yang dapat mendatangkan kutuk walau hal itu tidak terlalu nyata sebagai dosa pada umumnya. Dosa tersebut adalah: Tidak mengandalkan Tuhan melainkan mengandalkan diri sendiri atau kekuatan diluar Allah (Yer 17:5-8).

Pada prinsipnya kutuk menimpa seseorang oleh sebab "ketidak taatan" kepada hukum-hukum Tuhan dan kehendakNya baik yang dilakukan orang tersebut atau nenek moyangnya. Kutuk-kutuk dalam perjanjian lama berupa hukuman berupa berbagai penderitaan. Namun tidak disinggung secara jelas dampak kutuk atas seseorang dalam kehidupannya dibalik kubur.

Allah bukanlah sekumpulan doktrin atau setumpuk pengertian, Ia juga bukan sekedar tenaga aktif yang bergerak tanpa perasaan. Allah adalah Oknum yang ber-Pribadi, oleh sebab itulah Ia berkehendak dan berhakekat. Ia bertindak sesuai dengan hakekatNya. Tidak ada sistim atau sesuatu diluar diri Allah yang mengaturNya. Berkenaan dengan pembahasan kita hal kutuk ini kita harus melihat beberapa sifat hakekat Allah. Bahwa Ia adalah Allah yang Kudus dan Adil. Kekudusan dan keadilan Allah inilah yang bisa berdampak negatif kepada manusia oleh karena kesalahan manusia itu sendiri yaitu karena dosa mendatangkan kutuk.

Allah adalah Allah yang kudus (1Sam 2:2; 1Pet 1:13-16 dll). Kekudusan Allah tidak dapat mentolerir pelanggaran dan kejahatan manusia. Ia tidak dapat dipersekutukan dengan kegelapan (Hab 1:13a). Kekudusan Tuhan berkaitan erat dengan keadilanNya. Oleh karena Allah adalah Kudus maka Allah tidak akan pernah berlaku curang, Ia adalah Allah yang adil. KeadilanNya menuntut hukuman atas kesalahan (Maz 11:7; Nahum 1:2-3).

Dipihak lain manusia adalah manusia yang memiliki kehendak bebas (Lat. Liberum Arbitrium). Keadaan manusia yang bebas ini nampak jelas dalam Kitab Kejadian pada awal sejarah manusia. Manusia diberi kebebasan untuk memilih, taat atau memberontak (Kej 2-3). Ketaatan akan membuahkan hidup dalam persekutuan dengan Allah sumber berkat dan rahmat, tetapi sebaliknya ketidak taatan membuahkan kutuk (Ul 27-28). Dalam kisah mengenai Kain dan habel nampak jelas Kain sebenarnya dapat menghindarkan diri dari kutuk (Kej 4:6-7), tetapi ternyata Kain memilih membunuh Habel, inilah pintu masuk kutuk menimpa Kain. Panggilan kepada bangsa Israel untuk taat (Ul 27-28) merupakan indikasi yang jelas bahwa manusia bukanlah mahluk yang keadaannya ditentukan oleh takdir, tetapi keadaan manusia ditentukan oleh putusan dan pilihannya, berkat atau kutuk.

Seperti yang dijelaskan bahwa kutuk menimpa seseorang oleh sebab dosa atau kelakuan yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Tanpa disadari banyak orang Kristen yang masih dalam kutuk. Hal ini bisa diakibatkan 2 hal:

1. Dosa masa lalu orang tua kita yang mewariskan spirit kotor dan hukuman akibat dosa mereka.

2. Dosa yang kita lakukan akibat dari kesediaan kita bekerja sama dengan iblis melakukan apa yang melukai hati Tuhan.

Mengapa banyak diantara kita yang hidup jauh dari kelimpahan. Seolah-olah janji kelimpahan dalam Yesus Kristus adalah isapan jempol belaka. Hal ini disebabkan kita begitu menyepelekan hal dosa dan menganggap remeh hal kutuk ini. Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh faktor-faktor ini:

1. Menganggap sepele dosa yang kita lakukan. Pada hal setiap dosa menimbulkan sakit hati Tuhan. Segala sesuatu yang kita lakukan menimbulkan reaksi Tuhan. Menyenangkan hatiNya atau mendukakanNya.

2. Menganggap dosa atau perilaku yang tidak sesuai Firman adalah semata- mata kelemahan watak atau karakter. Ini berarti tidak mengkaitkan perilaku yang tidak sesuai Firman dengan iblis sebagai pemrakarsa atau pembujuknya.

Perhatikan hukum ini: ketaatan kepada Tuhan yang menyukakan hati Tuhan mendatangkan berkat, kemuliaan dan kelimpahan Allah, tetapi pelanggaran mendukakan hati Tuhan, menyukakan iblis dan mendatangkan kutuk. Disini manusia diperhadapkan berkat atau kutuk.

Setelah kita diselamatkan maka semua potensi dosa dipatahkan dan kutuk dihancurkan. Tetapi ini bukan berarti kita sudah bebas total dari dosa dan kutuk. Dosa masih bisa berkuasa lagi atas hidup kita (Gal 5:1) sebab kodrat dosa belum otomatis hilang, dan akibat kutuk dosa kita masa lalu maupun warisan orang tua belum otomatis lenyap, semua sampah-sampah tersebut harus dibuang habis. Inilah proses perluasan wilayah hidup.

Setelah seseorang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi maka dinyatakan kepada iblis bahwa kita milik Tuhan, pemilikan iblis atas hidup seseorang berakhir. Korban Yesus telah menebus kutuk dosa atas manusia (Gal 3:13). Maka sejak saat hari penebusan seseorang terjadi pergumulan untuk menguasai seluruh wilayah hidup kita bagi Tuhan. Pergumulan atau peperangan itu terjadi sebab iblis tetap mau menguasai daerah hidup kita atau kembali menguasai seluruh kehidupan kita. Hal ini bisa dimengerti kalau kita menganalogikan dengan pemilikan tanah Kanaan oleh bangsas Israel. Keluarnya bangsa Israel dari Mesir memang oleh mujizat Tuhan semata-mata. Inilah potensi pelepasan itu. Mereka bukan lagi berstatus budak. Tetapi bangsa itu harus keluar makin jauh ke Kanaan tau kembali pulang ke Mesir untuk diperbudak kembali. Dalam perjalanan menuju Kanaan ini dituntut ketaatan dan keseriusan bangsa itu untuk bekerja sama dengan Tuhan. Ketika mereka sampai tanah Kanaan, mereka harus memerangi setiap suku bangsa yang sudah menetap disana. Disini Allah tidak melakukan mujizat yang membuat bangsa Israel tidak perlu bersusah payah dengan perang merebut Kanaan.

Pengusaan seluruh kehidupan kita bagi Allah yang karenanya kita bebas dari segala kutuk dan ikatan dosa merupakan proses terus menerus yang menuntut kesungguhan kita. Allah tidak mau menaklukkan sendiri bagi kita. Kita harus berusaha bekerja sama dengan Roh Kudus untuk bebas sepenuh. Dalam hal ini harus dimengerti bahwa jiwa manusia atau manusia batiniah manusia bagai sebuah wilayah. Penguasaan atas wilayah hidup ini menuntut masing-masing individu untuk bertindak dan bergumul bekerja sama secara sungguh- sungguh dengan Tuhan.

Tidak ada agama dalam dunia ini yang dapat menawarkan jalan yang benar untuk membebaskan manusia dari kutuk. Pembebasan dari kutuk hanya melalui satu jalan yaitu Yesus Kristus: Kristus telah menebus kita dari kutuk taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis : "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib" (Gal 3:13). Tuhan Yesuslah yang telah disalib untuk menebus dosa kita dan membebaskan kita dari kutuk. Oleh sebab itu kalau seseorang hendak dibebaskan dari kutuk ia harus menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi, mengakui dosa-dosa dan mohon pengampunanNya (1Yoh 1:9). Setelah seseorang menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi melalui pertobatan yang benar maka ia harus memasuki proses "kemerdekaan total". Inilah yang dijelaskan diatas sebagai pergumulan untuk menguasai seluruh wilayah hidup kita.

Pembebasan dari kutuk dalam jaman Penggenapan tidak boleh disimplifikasikan, sebab dalam hidup orang percaya terdapat juga suatu proses pembebasan dari kutuk secara total (Band. Yak 1:4; 2Pet 1:10). Proses ini juga disebut sebagai proses untuk hidup dalam ketaatan. Ingat bahwa ketidak taatan mendatangkan kutuk. Ketidak taatan inilah yang dikalimatkan oleh Paulus sebagai tidak mengasihi Yesus (1Kor 16:22). Kata kutuk dalam 1Korintus 16:22 adalah anathema yang sejajar dengan kata kekherin, kherim. Ini berarti orang yang tidak mengasihi Tuhan akan menerima hukuman mati yang tidak dapat dielakkan, ia akan binasa sebab menolak pertobatan. Oleh sebab itulah maka dalam kehidupan orang Kristen ada pergumulan untuk tetap dalam kemerdekaan (Gal 5:1). Tetap dalam kemerdekaan dan bertumbuh dalam kedewasaan rohani berarti pertumbuhan untuk semakin mengasihi Allah. Untuk tetap dalam kemerdekaan agar kita tidak lagi dikenakan kuk perhambaan. Kuk perhambaan inilah jalan kepada kutuk yang menimpa seseorang. Pembebasan dari ikatan-ikatan dosa pada tubuh dosa kita adalah pembebasan dari kutuk (Hub. Roma 7:21-26).

Dalam hal ini dalam memandang kutuk hendaknya kita tidak memandangnya secara salah, yaitu dengan menanggapinya sebagai kefatalan. Kutuk dosa menjadi kefatalan kalau seseorang "selalu" menolak pertobatan sehingga menghujat Roh Kudus yaitu dosa yang tidak diampuni (2Pet 2:14, kata kutuk disini adalah kataras). Jadi kemungkinan kutuk tertimpa atas umat pilihan bisa jadi kalau umat pilihan sengaja berbuat dosa dan menolak kasih karunia Allah yang begitu besar (Ibr.10:26-29).

Selama seseorang masih mau bertobat semua kutuk dapat dipatahkan oleh kuasa darah Yesus. Kalaupun akibat dosa atau kesalahan kita ada pukulan maka itu bukanlah suatu kutuk tetapi disiplin Tuhan atas anak-anakNya untuk menggiring kepada berkat kekal. Dengan demikian jelas dalam kehidupan anak Tuhan yang hidup dalam persekutuan dengan Tuhan terus menerus tidak ada kutuk lagi.

Proses dimerdekaan total dari kutuk ini dijelaskan Tuhan Yesus dalam Yohanes 8:31-36, seseorang harus tetap dalam Firman . Tetap dalam Firman inilah pergumulan untuk tetap dalam kemerdekaan dan meningkatkan mutu kemerdekaan itu. Hasil dari proses ini adalah "kemerdekaan dari dosa". Kemerdekaan dari dosa ini adalah kemerdekaan dari kutuk.

Bagi pribadi-pribadi tertentu yang mewarisi kutuk dari orang tua dengan skala besar atau ikatan dosa dengan kekuatan besar maka ia bisa dibantu pelepasannya dengan pengusian dalam nama Tuhan Yesus Kristus.

E. Murtad

Kata Murtad kadang-kadang disebut untuk menunjuk orang yang meninggalkan agama atau partai politik. Didalam Alkitab kita juga dapat bertemu dengan kata ini yang diterjemahkan "paraptoma dan apostasia". Paraptoma dari akar kata "pipto" yang berarti

1. salah langkah (a false step),

2. a blunder (menabrak atau melakukan kesalahan besar),

3. jatuh dari (to fall down from),

4. meninggalkan kepercayaan (fall away).

5. a lapse from uprightness (searti dengan kata dosa dalam bahasa Yunani yaitu hamartia yang artinya luncas, menyimpang dan tidak kena sasaran)

Kata "paraptoma " inilah yang digunakan Paulus dalam Ibrani 6:6, yang murtad lagi. Paraptoma juga digunakan oleh Paulus dalam tulisannya di Roma 11:11-12, kejatuhan orang Yahudi yang menolak Yesus sebagai Juru Selamat adalah kemurtadan, maksudnya bahwa mereka menyimpang dari jalan yang benar.

Padanan kata paraptoma ini dalam bahasa Yunani "apostasia", kata ini juga menunjuk kepada kemurtadan. Apostasia bisa berarti antaralain :

1. a defection, departing (meninggalkan),

2. revolt (memberontak),

3. apostasy, renegade (kemurtadan),

4. fall away (lari dari, jatuh).

Kata apostasia biasanya menunjuk kepada tindakan atau langkah meninggalkan sesuatu yang menjadi tugasnya (bidang ketentaraan) dan berdiri sebagai pihak pemberontak. Kata ini digunakan dalam Kisah rasul 21:21 dan 2Tesalonika 2:3.

Dua kata yang menyiratkan jelas mengenai kemurtadan ini (paraptoma dan apostasia) tidak memiliki difrensiasi yang jelas. Dua kata ini merupakan dua kata yang bersinonim, memiliki pengertian yang sama yaitu menununjuk kepada kemurtadan, orang yang sudah beriman lalu meninggalkan imannya.

Terlepas dari masalah etimologi kata murtad ini dalam bahasa Yunani, yang penting harus diterima bahwa kemurtadan adalah suatu realitas hidup. Hal ini tidak dapat dipungkiri. Alkitab jelas mengatakan demikian. Dalam Ibrani 6:6 memberi indikasi jelas mengenai kenyataan hidup Kristiani ini. Dalam terjemahan Good News Bible dikatakan: And then they abandoned their faith! It is impossible to bring them back to repent again. Kata murtad disini (Ing. abandoned their faith. Terjemahan NKJV: if they fall away) adalah paramesontes (pipto, para pipto). Orang yang murtad adalah orang yang tidak akan bertobat lagi. Keadaan ini sejajar dengan "menghujat Roh Kudus". Jadi selama seseorang masih bisa bertobat maka ia belum dikatagorikan murtad. Dalam hal ini hanya Tuhan yang tahu apakah seseorang sudah sampai tingkat murtad atau belum.

Dalam Ibrani 3:12-15, dijelaskan oleh penulis kitab Ibrani bahwa kemurtadan bisa terjadi atas orang yang sudah beriman kepada Kristus. Kata murtad dalam teks ini: apostenai (Ing. departing, falling away). Dikatakan dalam teks aslinya: en to apostenai apo theou zontes (Ing. in departing from living God). Dalam Alkitab bahasa Indonesia diterjemahkan: murtad dari Allah yang hidup. Jelas sekali bahwa orang yang melarikan diri atau menjauhkan diri dari Allah yang hidup adalah orang yang pernah "dekat" dengan Tuhan.

Dalam Matius 24:10 menginformasikan bahwa akan terjadi kemurtadan (teks dalam bahasa Indonesia). Kata murtad disini sebenarnya adalah "skandalisthesontai" yang lebih tepat diterjemahkan sebagai "melakukan pelanggaran terhadap hukum" (ing. be offended). Keadaan inilah yang dinubuatkan oleh Paulus dalam 2Tesalonika 2:3, yaitu tentang hari kemurtadan. Dalam 1Timotius 4:1-3 dijelaskan bahwa di akhir jaman akan terjadi kemurtadan orang percaya (Yun. apostesontai. Ing. will depart from). Mereka disesatkan oleh roh-roh penyesat ajaran setan oleh tipu daya pendusta-pendusta.

Harus berani diakui bahwa 12 murid Tuhan yang terkemuka adalah orang-orang khusus yang telah menerima kuasa untuk pergi memberitakan kerajaan sorga. Tidak dikatakan bahwa ada yang tidak menerima kuasa. Mereka adalah orang-orang yang telah mengalami kuasa Tuhan dan mendengar banyak kebenaran, tetapi ada diatara mereka yang telah meninggalkan iman mereka dan terhilang. Inilah kemurtadan itu (paraptoma, apostasia). Dalam Ibrani 10:26 diperingatkan bahwa orang yang meninggalkan jalan kebenaran, "dengan sengaja" berbuat dosa, adalah orang-orang yang yang tidak lagi berkesempatan memperoleh pengampunan dosa.

Jadi adalah berbahaya kalau kita mengatakan bahwa seorang anak Tuhan tidak mungkin murtad. Kepercayaan bahwa anak Tuhan tidak mungkin murtad akan mencenderungan anak Tuhan tidak mengerti tanggung jawabnya yang berat sebagai anak Tuhan. Panggilan untuk tetap didalam keselamatan adalah panggilan yang tidak kalah hebatnya dengan panggilan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi.

Kemurtadan ini dapat disejajarkan dengan pengertian "menyia-nyiakan keselamatan" (Ibr 12:3). Dalam Ibrani 12:1-4 orang yang mendengar Injil dan telah menerimanya diancam bahaya besar bila tidak hidup didalam kebenaran Injil yang diberikan Tuhan itu. Menjadi penyakit dan kelemahan banyak orang Kristen, setelah menjadi orang percaya tidak bersungguh-sungguh dalam hidup percayanya. Tidak bersungguh-sungguh dalam hidup kekristenannya. Sikap ini disebut oleh kitab Ibrani 2:3: menyia-nyiakan keselamatan. Menyia-nyiakan dari teks aslinya amelesantes, akar kata ameleo yang dapat diterjemahkan sebagai: neglecting, made light of, to be careless of, not to care (menganggap ringan, meremehkan, tidak menganggap berarti). Hampir orang percaya tidak mau mengakui kelemahan ini, pada hal hidup rohaninya terjangkit penyakit ini. Hal ini disejajarkan dengan bangsa Israel yang telah menerima firman Tuhan yaitu hukum-hukumnya, bila menolak atau melanggar hukum itu akan menerima balasan yang setimpal. Dalam perikop ini diingatkan bahwa sekalipun bangsa Israel adalah umat pilihan Allah ketidak taatan akan mendatangkan bencana bagi mereka. Demikian pula dengan orang percaya yang tidak hidup didalam percayanya. Dalam 1Petrus 2:1-12 ditegaskan bahwa kalau Tuhan tidak sayang terhadap malaekat yang jatuh, membuang mereka, demikian pula terhadap orang yang menyimpang dari iman.

Yohanes 15:1-7 dipaparkan bahwa sangat mungkin bagi carang yang tidak berbuah akan dikeratnya. Ini berarti menunjuk kepada kehidupan anak-anak Tuhan yang telah memiliki hubungan dengan Tuhan tetapi oleh karena menyia-nyaikan anugerah Allah dengan bukti tidak berbuah ia dibuang. Dalam kaitannya dengan hal ini Paulus mengingatkan jemaat di Roma untuk memperhatikan bukan saja kemurahan Allah tetapi juga kekerasanNya (Roma 11:19-22). Kalau bangsa Israel yang adalah cabang yang asli bisa dipatahkan, maka kita yang adalah cabang liar bisa dipatahkan pula kalau tidak tetap tinggal dalam kemurahanNya.

Dalam gereja Tuhan harus sungguh-sungguh diwaspadi bahwa kemurtadan adalah bahaya gereja yang berkesinambungan sepanjang abad. Dalam banyak bagian Alkitab dikemukakan agar kita bergumul terus untuk berpegang teguh atas apa yang kita yakini dan jalani dan terus bertumbuh dalam iman (wahyu 2:25; 3:11). Bila tidak ada realitas kemurtadan, niscaya Tuhan Yesus tidak perlu sedemikian tegas mengingatkan orang percaya untuk berjaga-jaga dan berpegang teguh atas apa yang sudah dipercayai. Lebih tegas lagi dikatakan dalam Wahyu 3:5 bahwa ada kemungkinan nama seseorang yang telah tertulis dihapus.

Suatu realitas yang harus dimengerti dan diterima, bahwa iblis bisa menuntut untuk mencobai anak-anak Tuhan dengan maksud agar anak Tuhan tersebut gugur imannya (Luk 22:31). Dalam terjemahan Good News dikatakan Satan has receive permission to test all of you . Hal ini juga dialami oleh Ayub, dimana iblis mendapat ijin oleh Tuhan mencobainya (Ayub 1:12). Pencobaan yang dialami Ayub dimaksudkan oleh setan agar Ayub menghujat Allahnya (Ayub 2:9). Demikian pula Iblis menampi yaitu memberi goncangan, agar Simon dan murid-murid lain mengkhianati dan menyangkal Tuhan Yesus.

Tuhan Yesus menyinggung mengenai realitas keguguran (Ing.fail, Yun.ekleipe), ini berarti suatu realitas yang dapat dialami anak Tuhan. Gugur maksudnya jatuh sebelum waktunya (masak), tidak mencapai tujuan. Kalau kata ini dikenakan untuk prajurit yang mati di medan perang memiliki konotasi positif, tetapi kalau dikenakan untuk hal lain sangat negatif. Juga dalam hubungannya dengan pengiringan kepada Tuhan Yesus.

Jangan kita beranggapan bahwa orang Kristen yang sudah percaya kepada Tuhan Yesus tidak mungkin gugur. Kita hendaknya tidak mensimplifikasikan kebenaran Alkitab sehingga salah mengerti. Dapat kita temukan banyak data dalam Alkitab mengenai kenyataan ini. Dalam 1Korintus 10:1-12 digambarkan bangsa Israel sebagai contoh (Ay.11-12).

Dalam Wahyu 3:5 Tuhan Yesus menyinggung mengenai penghapusan nama (ada 3 kata dapat diterjemahkan menghapus: apomasso, membuat bersih, debu- Luk 10:11; ekmasso, bisa diterjemahkan membuat kering/menghapus air mata, wipe dry; exaleipho, to wipe out, wipe away. Kata yang ketiga ini lebih kuat dan dekat berarti menghapuskan sama sekali to blot out). Dari pernyataan Tuhan yesus inijelas bahwa ada kemungkinan seseorang namanya dihapus dari kita kehidupan (biblou tes zoes; scroll of life/book of living). Oleh sebab itu berkali-kali Tuhan Yesus menyerukan agar kita berjaga-jaga dan berdoa (Mat 26:41; 1Pet 5:8). Dalam surat Petrus ia berkata sadarlah dan berjaga-jaga, hal ini memberi indikasi bahwa ada orang-orang percaya yang tidak sadar dan tidak berjaga-jaga. Dengan demikian jelaslah bahwa dunia ini bukan panggung sandiwara yang semua kejadian telah diatur oleh sebuah sekenario dan sutradara yang menetukan awal dan akhir cerita. Dunia adalah panggung pergumulan apakah seseorang tetap didalam iman atau tidak.

Tidak asing bagi kita kebenaran bahwa di akhir jaman ini akan terjadi keguguran yang besar. Dalam Matius 24:12 dinyatakan oleh Tuhan Yesus bahwa kasih kebanyak orang menjadi dingin. Lebih banyak yang dingin dari pada panas. Apa yang dikatakan Tuhan Yesus ini singkron dengan apa yang dikatakn oleh Daniel dan Paulus (Dan 12:10; 2Tim 3:1- 5). Bahaya anak Tuhan tidak mengerti kebenaran ini atau yang tidak mau menerima kebenaran ini, bahwa kejatuhan adalah suatu realitas dan bahwa dunia akhir jaman ini sangat rawan bagi iman Kristen. Kalau kita tidak berdiri teguh dan berjaga-jaga kita akan jatuh terserat dalam dosa dunia, akhirnya gugur. Tetapi kalau kita berjaga-dan berdoa, sadar akan kenyataan tentang keguguran dan dunia akhir jaman yang jahat ini, maka kita tidak akan gugur. Kalau kita memahami bahwa dunia akhir jaman sangat rawan maka akan mendorong lebih bersungguh-sungguh dalam memperlengkapi diri dengan perlengkapan senjata Allah. Agar tampil sebagai pemenang.

Panggilan ini senada dengan apa yang diucapkan rasul Paulus di Galatia 5:1, jangan mau dikenakan kuk perhambaan lagi. Jangan terkecoh dengan ajaran yang mengatakan bahwa orang Kristen tidak akan dapat murtad lagi. Ajaran semacam ini akan memperlemah gairah pengiringan kita yang murni kepada Tuhan. Kurang bersungguh-sungguh dalam meningkatkan mutu kehidupan rohani kita (Fil 2:12).

Waspadalah (Ibr 3:12) merupakan kata peringatan sekaligus ancaman (Bandingkan: Ucapan Tuhan di Firdaus, Kej 2:16; 2Kor 11:1-3). Peringatan ini tidak membuat kita menjadi orang Kristen yang dikejar-kejar ketakutan tetapi peringatan yang membuat kita waspada. Sebaliknya anggapan yang mengatakan bahwa kita tidak akan bisa murtad lagi akan menciptakan orang Kristen yang kurang mempraktekkan kebenaran Allah. Biasanya lebih banyak mendiskusikan Alkitab dan mempercakapkannya dari pada mempersonifikasikan dalam hidup.

Memang ada satu tingkat rohani yang seseorang tidak mungkin murtad lagi (Ibr 6:11; 2Pet 10-11). Pandangan yang menagtakan bahwa orang Kristen tidak mungkin murtad yang berrelasi dengan ayat ini adalah karena Ibrani 6:9. Mereka lupa terdapat ayat 11, panggilan untuk bersungguh-sungguh supaya pengharapan keselamatan menjadi milik yang pasti (so that things you hope for will come true).

Orang-orang yang dikatagori sebagai murtad adalah orang-orang yang pernah berkeadaan seperti ini (Ibr.6:4-5):

- diterangi hatinya.

- mengecap karunia sorgawi

- mendapat bagian dalam Roh Kudus

- mengecap Firman yang baik dari Allah.

- mengecap karunia-karunia dunia yang akan datang.


Minggu, 16 November 2008

PERTEMUAN INJIL DAN KEBUDAYAAN

Pertemuan Injil dan kebudayan

Injil diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh kebudayaan yang bentuknya dapat diumpamakan seperti kuelapis. Lapisan-lapisan kebudayaan itu misalnya di Indonesia terdiri dari lapisan yang diwarnai oleh agama pribumi, Hinduisme, Buddhisme, Islam, Kristen dan terakhir modernisme. Intensitas pengaruh itu berbeda satu dengan lain bergantung pada etnografis, geografis dan sejarah masing-masing wilayah. Tetapi bagaimanapun Injil yang diberitakan itu tetap berhadapan dengan kebudayaan bangsa-bangsa dan suku-suku.

Dalam pertemuan injil dan kebudayaan tersebut, secara khusus adalah dengan unsur-unsur kebudayaan yang pasti terdapat dalam semua kebudayaan yang dinamai unsur kebudayaan universal, terdiri dari : Sisten relegi dan upacara keagamaan, Sistem dan organisasi masyarakat, Sistem pengetahuan, Sistem bahasa, Sistem Kesenian, Sistem Mata pencaharian, dan Sistem teknologi

Lapisan-lapisan kebudayaan itu tidak statis, masing-masing salingberpenetarasi, maka unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada dalam perobahan.

Demikianlah Injil selalu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan membawa nilai Injil secara khusus dengan sistem religi,sistem pengetahuan, kesenian dan mata pencaharian.

Sewaktu Yesus memberitakan Injil, Ia ditentang oleh Yudaisme dalam soal-soal doktrin dan kesucian, perkawinan,sistem ekonomi yang berlandaskan usaha kerja, sedang Injil menekankan anugerah Allah sebagai jaminan kehidupan (Mattius 5 : 25-34); tentangkasih dan keadilan yang menentang hukum balas-membalas (Mattius 5 : 38-48).

Hal yang sama terjadi setelah Injil dibawa keluar Israel ke masyarakat Hellenisme dan Romawi. Injil menentang absolutisme kekaisaran romawi dimana kaisar dianggap dan dipuja sebagai Tuhan dan agama rakyat yang politheistis dan hubungan seksual termasuk dalam sistem religi yang membuat tata susila yang permissif, sini tari yang membangkitkan birahi dan bentuk-bentuk olah raga yang tidak manusiawi. Oleh sebab itu gereja tidak dapat tidak harus menentukan sikap terhadap kebudayaan yang dihadapinya.

Sikap Gereja terhadap kebudayaan

H. Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika serikat telah membuat bagan tentang sikap Gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau Kristus dan kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap Gereja terhadap kebudayaan sepanjang zaman dalam 5 sikap, yaitu :

1. Gereja anti kebudayan

2. Gereja dari kebudayaan

3. Gereja diatas kebudayaan

4. Gereja dan kebudayaan dalam hubungan paradoks

5. Gereja pengubah kebudayaan

Ini adalah gambaran –gambaran umum, sedang dapat kita benarkan pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada gereja yang secara murni mengambil salah satu sikap tersebut. Namun ada baiknya kita membicarakan posisi-posisi itu satu persatu :

1. Posisi 1.

Gereja memandang dunia di bawah kekuasaan si jahat sebagai kerajaan kegelapan. Warga Gereja disebut oleh Injil adalah anak-anak terang, karena itun tidak hidup dalam kegelapan. Dunia kegelapan ini dikuasai oleh nafsu kedagangan, nafsu mata, kesombongan. Semua itu akan berlalu sebab mereka akan dikalahkan oleh iman kepada Kristus (Niebuhr, 56).

Sikap menentang kebudayaan ini telah dilancarkan oleh Tertullianus tokoh Gereja abad ke 2. Ia mengatakan bahwa konflik-konflik orang percaya bukan dengan alam tetapi dengan kebudayaan. Dosa asal itu menurut Tertullianus disebarkan oleh kebudayaan melalui pendidikan anak. Olehn karena itu kata tertullianus tugas Gereja adalah menerangi semua orang yang sudah berada di bawah ilusi kebudayan, supaya mereka dibawa kepada pengetahuan akan kebenaran. Yang paling buruk dari kebudayaan adalah agama sosial, kafir atau politheisme, hawa nafsu dan kemaksiatan (Niebuhr, 60). Tetapi pada pihak lain, tertullianus menganjurkan agar Gereja memupuk kebersamaan, tidak meninggalkan pertemuan umum, tempat pemandian, kede, penginapan, pasar mingguan tempat perdgangan sebab Gereja dengan semua itu numpang bersama dalam dunia. Selanjutnya kata Tertullianus, kami berlayar bersama berjuang denganmu, mengolah tanah denganmu bahkan dalam bidang seni untuk umum. Pada pihak lain Tertullianus mengajak orang menjauhi keterlibatan dalam soal-soal kenegaraan, antara lain menolak dinas militer sebab melanggar perintah Injil yang melarang menggunakan pedang dan tidak ikut dalam sumpah setia kepada kaisar dan keturut sertaan dalam upacara kafir. Ia menolak bentuk kekristenan yang berfusi dengan Stoa dan Plato. Menurut pendapatnya, tidak ada hubungan Kristus dengan filsafat. Walau Tertullianus tidak menolak seluruh kebudayaan, tapi Niebuhr menyebutnya termasuk dalam posisi Gereja lawan kebudayaan.

2. Posisi 2, Gereja dari kebudayaan

Kelompok yang menganut paham ini merasa tidak ada ketegangan besar antara gereja dan dunia, antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat Illahi dengan karya manusia. Mereka menafsirkan kebudayaan melalui Kristus danberpendapat bahwa pekerjaan dan pribadi Kristus adalah sangan sesuai dengan kebudayaan. Dipihak lain, kelompok ini berpendapat jika Kristus ditafsirkan melalui kebudayaan, maka hal-hal yang terbaik dalam kebudayaan adalah cocok dengan ajaran dan kehidupan Kristus. Namun penyesuaian ini bukan sembarangan, sebab telah dilakukan juga penjungkiran bagian-bagian kebudayaan yang tidak sesuai dengan Injil dan bagian-bagian Injil yang tidak sesuai dengan adat istiadat sosial (Niebuhr : 94).

Tetapi kaum Gnostik Kristen menafsirkan Kristus sepenuhnya sesuai dengan konsep kebudayaan, tidak ada pertentangan antara keduanya. Dengan demikian ada perdamaian Injil dengan kebudayaan dan karena itu kekristenan telah menjadi sistem agama dan filsafat dan Gereja hanya sebagai perhimpunan religius bukan sebagai gereja atau masyarakat baru. Tokoh-tokoh penyesuaian ini dalam sejarah Gereja adalah Clemens (200) dan Origines (185-254)- (Fuklaan-Berkhof, 1981 : 41).

Pada abad pertengahan posisi Gereja dari kebudayaan dilanjutkan oleh Petrus Abelardus (1079-1142) yang mengakui karya Filsuf Socrates dan Plato sebagai guru mendidik walaupun lebih rendah tingkatnya tyetapi bersesuaian dengan ajaran Yesus (Niebuhr, 100).

Tokoh yang lain adalah Ritschl yang menggagasi untuk merekonsiliasi kekristenan dengan kebudayaan. Kelompok ini secara keseluruhan disebut Protestantisme kebudayaan melalui gagasan tentang kerajaan Allah yang telah disamakan dengan suatu kerajaan umat manusia yang terhimpun dalam suatu keluarga, di bawah ikatan kebajikan, perdamaian, keperluan bersama. Perhimpunan ini terbentuk melalui aksi moral secara timbal balik dari anggota-anggotanya yaitu suatu aksi melalui pertimbangan alamiah (Niebuhz, 109). Dalam gagasan ini, kesetiaan orang kepada Kristus menentukan orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam karya kebudayaan (Niebuhr, 110).

3. Posisi 3. Gereja diatas kebudayaan.

Pandangan ini berawal dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan spiritual (rohani). Menurut Thomas Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan aturan suatu kehidupan sosial yang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh semua yang berakal sehat sebab bersifat hukum alam. Tapi disamping hukum alam ada hukum Ilahi yang dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui hukum alam. Sebagian hukum Ilahi adalah harmonis dengan hukum alam dan sebagaian lagi melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural manusia (ordo supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang kamu miliki, berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat dalam perintah kamu tidak boleh mencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh akal manusia dan didalam wahyu. Dari contoh itu Thomas Aquinas menyimpilkan bahwa hukum alam yang ditemui yang terdapat dalam kodrat hidup manusia berada dubawah ordo supernaturalis.

Manusia dalam hidupnya sudah kehilangan ordo supernaturalis dan untuk dapat memulihkannya kembali hanyalah melalui sakraman.

Gereja berada dalam ordo supernatulis. Oleh karena itu kebudayaan berada di bawah hirarkis gwereja. Dengan itu pada abad pertengahan gereja menguasai seluruh kebudayaan dalam tatanan Corpus Christianum.

4. Posisi 4. Hubungan Gereja dan kebudayaan dalam paradoks.

Dalam pandangan ini, iman dan kebudayaan dipisahkan. Orang beriman (Kristen) berada dalam dua suasana yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam anugerah Allah dalam Kristus. Oleh sebab itu orang beriman dihimpit oleh dua suasana yaitu hidup dalam iman dan hidup dalam kebudayaan.

Dalam sejarah Gereja, Marcian seorang tokoh gereja abad ke 2 yang berpendirian bahwa dalam kebudayaan manusia di bawah Allah yang rendah derajadnya yang dinamainya domiurgos sedang dalam pembaharuan ciptaan, manusia hidup di bawah Allah Rahmani. Dengan itu ia telah mempelopori hidup secara dualisme. Ajaran ini ditolak gereja pada masa itu dan dikategorikan sebagai ajaran sesat.

Pandangan dualisme kelihatan juga secara samar dalam ajaran Marthin Luther yang mencetuskan reformasi pada tahun 1517 Menurut dia orang beriman hidup dalam dua kerajaan, yaitu kerajaan Allah yang rohani dan kerajaan duniawi. Kerajaan Allah adalah suatu kerajaan anugerah dan kemuliaan, tetapi kerajaan duniawi adalah suatu kerajaan kemurkaan dan kekerasan. Kedua kerajaan itu tidak dapat dicampur adukkan. Masing-masing lingkungan menurutaturannya. Jadi manusia hidup dalam dua tatanan yaitu tatanan kebudayaan berdasarkan hukum alam dan tatanan rohani yaitu tatanan surgawi. Ada kesan bahwa Marthin Luther tidak menghubungkan tatanan duniawi dengan yang surgawi sehingga kehidupan dalam kebudayaan dan surgawi tidak berhubungnan. Dengan itu ada kemungkinan orang tidak lagi membawa imannya dalam kehidupan dalam kebudayaan (Niebuhr, 194).

Pada abad ini pandangan itu dipertahankan oleh seorang Teolog bernama William Roger. Manusia menurut Roger, harus berbakti kepada Allah maupun raja, kendati ada ketegangan antara keduanya. Orang beriman seyogianya hanya berbakti kepada Allah tetapi tidak dapat tidak harus berbakti kepada kebudayaan. Kita tidak dapat tidak hidup seperti ampibi, yaitu hidup dalam rahmat Allah dan sekaligus dalam kebudayaan. Kedua lingkungan ini terpisah dan tidak saling berhubungan. Hal ini mungkin bahwa seorang dapat hidup berdasarkan imannya pada lingkungan rohani atau hidup menurut imannya pada lingkungan rahmat dan pada pihak lain ia hidup menurut aturan duniawi dalam lingkungan dunia (Niebuhr:207).

5. Posisi 5. Gereja pengubah kebudayaan

Banya orang Kristen sepanjang abad tidak menyetujui keempat pendirian tersebut baik dalam teori maupun dalam politik. Mereka juga tidak bersedia menyerah kepadakebudayaan karena mereka memahami kebudayaan mempunyai kelemahan-kelemahan. Mereka juga menolak takluk kepada kebudayaan yang dipaksakan gereja sebab kebudayaan yang dipaksakan gereja selalu berbentuk sintesa antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia dan ada kecenderungan memandang kebudayaan yang masih berdosa ini dianggap suci sebab berada di bawah gereja. Tapi adalah tidak benar, jika dikatakan bahwa kerajaan Allah telah diwujudkan dalam kebudayaan yang diciptakan gereja (Verkugl, 1982 : 49).

Sikap gereja yang tepat menurut H. R. Niebuhr adalah sikap gereja pengubah kebudayaan.

Seorang teolog bernama Augustinus (354-430) telah mempelopori sikap gereja pengubah kebudayaan. Posisi ini berangkat dari pendirian bahwa tidak ada suatu kodrat yang tidak mengandung kebaikan, karena itu kodrat setan sendiripun tidaklah jahat, sejauh itu adalah kodrat, tapi ia menjadi jahat karena dirusak (Niebuhr, 239).

Tetapi Allah kata Augustinus, memerintah dan mengatasi manusia dalam pribadi dan sosial mereka yang rusak. Pandangan ini berasal dari pemahaman bahwa oleh sifat kreatifitas Allah maka Allah tetap menggunakan dengan baik kehendak manusia yang jahat sekalipun, sehingga m,anusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kebudayaannya. Sikap Allah ini mendapat wujudnya dalam Yesus Kristus yang telah datang kepada manusia yang telah rusak untuk menyembuhkan dan memperbaharui apa yang telah ditulari melalui hidup dan kematiannya, ia mengatakan kebesaran kasih Allah dan tentang begitu dalamnya dosa manusia (241). Denganjalan Injilnya ia memulihkan apa yang telah rusak dan memberi arah baru terhadap kehidupan yang telah rusak (242). Atas pemikiran teologis tersebut, Agustinus meletakkan gagasan Injil pengubah kebudayaan atau Injil adalah Conversionis terhadap kebudayaan. Pemikiran Augustinis ini dilanjutkan oleh Johanes Calvin pada awal abad ke 16. Titik tolak pikirannya berawal pada pandangannya bahwa hukum-hukum kerajaan Allah telah ditulis dalam kodrat manusia dan dapat terbaca dalam kebudayaannya. Dengan itu hidup dan kebudayaan manusia dapat ditransformasikan sebab kodrat dan kebudayaan manusia dapat dicerahkan, sebab mengandung kemungkinan itu pada dirinya sebagai pemberian Ilahi. Oleh sebab itu Injil harus diaktualisasikan dalam kebudayaan supaya kebudayaan lebih dapat mensejahterakan manusia (245-246).

Gereja dan kebudayaan di Indonesia

Seperti telah disinggung sebelumnya, unsur-unsur kebudayaan yang dihadapi Injil di Indonesia sarat dengan pengaruh agama-agama, mulai dari agama pribumi, Hindu, Buddha dan Islam dalam intensitasyang berbeda-beda. Pengaruh itu dalam bentuk lapisan-lapisan, namun saling berpenetrasi antara satu dengan yang lain. Secara umum dapat dikatakan pengaruh Hindu dan Islam berpengaruh dalam kebudayaan Jawa, sedang di Indonesia bagian timur terdapat pengaruh agama pribumi dan Islam. Di Sumatwera Utara khususnya diantara orang Batak terdapat pengaruh agama Hindu dan agama pribumi.

Sewaktu Injil diberitakan kepada suku-suku bangsa di Indonesia maka Injil berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan setempat. Persoalan kita bagaimana sikap gereja terhadap kebudayaan setempat.

Gereja-gereja berlatar belakang reformasi yang membawa Injil ke Indonesia menekankan sekali kemurnian Injil dan disiplin kehidupan umat sesuai nilai-nilai yang termuiat dalam Injil. Oleh sebab itu geraja selalu mengawasi agar unsur-unsur yang bertentangan dengan Injil tidak memasuki kehidupan umat Kristen. Oleh karena itu gereja menolak kultus roh nenek moyang dan semua ritus-ritus untuk menguatkan roh atau jiwa seseorang. Tujuan utama penolakan ini, agar tidak terjadi penyembahan kepada ilah-ilah selain dari Allah Jahweh (Keluaran 20 : 2-5).

Tetapi gereja menyadari bahwa simbol-simbol yang digunakan masyarakat adalh bermuatan agama sedang bagi masyarakat pribumi suatu simbol selalu identik dengan yang disimbolkan. Oleh sebab itu gereja tidak saja menolak kultus kepada yang bukan Allah tetapi juga mendesakralisasikan suatu simbol sehingga dapat menjadi sarana untuk mencapai kesejahteraan manusia.

Upaya ini nampak jelas dalam penerimaan gereja terhadap tatanan masyarakat Batak yang dinamai dilikan na tolu, yaitu tiga tungku (Batak toba, Angkola, Simalungun dan Dairi) atau sangkep si telu (Batak Karo). Tatanan ini bersumber dari kepercayaan orang Batak kepada tiga Dewata, yang pertama berkediaman di dunia atas, yang kedua di dunia tengah dan ketiga di dunia bawah. Berdasarkan pandangnan kosmologis tersebut, maka masyarakat Batak dibagi atas unsur hula-hula atau kalimbubu (Karo) yaitu kelompok si pemberi dara, dongan atau senina (Karo) yaitu kelompok satu klan dan boru atau anak beru (Karo) yaitu kelompok si pengambil dara.

Ketiga dewata itu diharapkan selalu harmonis agar kehidupan manusia di dunia tengah tidak diganggu oleh dunia bawah dan atas. Harapan ini terungkap dalam doa orang Karo bunyinya : turunlah dewata diatas, naiklah dewata di bawah dan duduklah dewata ditengah. Sebagaimana harus ada keharmonisan antara dunia atas, tengah dan bawah, demikian juga ketiga unsur kerabat tersebut harus selalu bertindak dalam keserasian. (Ph. L. Tobing, the structure of Batak Belief in the High God: 1963:28-29) Bahwa orang batak memahami seluruh kosmos sebagai keselueruhan dunia bawah, tengah dan atas. Dalam totalitas ini, masing-masing dunia yang tiga itu mempunyai fungsi, melalui mana keserasian dan keberadaan manusia itu mungkin. Penghapusan salah satu dari totalitas itu berarti pemusnahan jagad raya dan juga keberadaan masing-masing. Demikian juga keberadaan kosmos yang menjadi bagian dari pada ruang adalah kesatuan totaliter. Tanpa memandang luas kecil operasinya, ia adalah kesatuan dari kuasa-kuasa yang bertentangan (terjemahan : penulis).

Gereja mengadopsi tatanan dalihan na tolu tau sangkep si telu tersebut dengan mencopot unsur mythologisnya dan menanamkan nilai-nilai etis agama Kristen kedalamnya agar peran masing-masing unsur lebih rasional dan fungsional.

Hal yang sama dilakukan gerja-gereja dalam kebudayaan setempat di Indonesia antara lain gereja di Ambon mengadopsi tatanan “pela gandong” yaitu suatu ikatan sosial masyarakat berdasarkan ikrar nenek moyang pada waktu yang tidak diketahui lagi, tetapi tetap diteruskan kepada generasi-generasi seterusnya tanpa membedakan agama yang merekla anut.

Kepatuhan orang terhadap tatanan dalihan na tolu maupun pela gandong tersebut bukan semata-mata oleh ikatan hukum, tapi mengandung nilai-nilai moral dan oleh sebab itu kepatuhan tersebut bersifat devasi atau ibadah dan orang yang melanggarnya dikategorikan sebagai pelanggar moral.

Dapatlah kita simpulkan bahwa sikap gereja terhadap kebudayaan adalah :

1. Gereja menentang kebudayaan khususnya terhadap unsur-unsur yang secara total bertentangan dengan Injil, umpamanya terhadap kultus agama, suku dan tata kehidupan yang tidak membangun seperti poligami, perjudian, perhambaan.

2. Menerima unsur-unsur kebudayaan yang bersesuaian dengan Injil dan bermanfaat bagi kehidupan.

3. Menerima unsur-unsur kebudayaan tertentu dan mentransformasikannya dengan Injil umpamanya tata perkawinan, seni tari dan lain-lain sehingga dapat menjadi sarana Injil untuk membangun iman dan kehidupan.

Kesimpulan

Melalui pertemuan Injil dengan sub kultur-sub kultur di Indonesia timbullah kebudayaan sub kultur Kristen di Indonesia. Hal ini mengatakan tidak ada kebudayaan Kristen yang universal di Indonesia. Dengan itu agama Kristen telah menjadi salah satu sumber kekuatan untuk melahirkan kebudayaan. Oleh sebab kelokalan itu maka kebudayaan sub kultur Kristen itu tidak seluruhnya menyapa semua manusia disegala zaman dan tempat. Hal itu berarti Injil yang universal itu dijadikan menjadi Injil yang lokal, yang menjawab persoalan dan kebutuhan lokal. Proses ini dapat menjadi ancaman sebab Injil yang universal dikaburkan dalam kelokalannya.

Tapi pada pihak lain hanya dengan cara demikian Injil yang universal menjadi fungsional dalam konteks lokalnya. Atas dasar itu Paul Tillich seorang teolog berkata :” theology move between eternal truth of its foundation and the temporal situation in which the eternal truth must be received” (Tillich, Systematic Theology I . 3). Kata-kata itu mengatakan bahwa teologi adalah ungkapan dari kebenaran Injil dari situasi temporal, dimana kebenaran itu harus diterima.

Ucapan Tillich membenarkan upaya menghubung­kan Injil atau teks Alkitab dengan situasi lokal, sehingga timbul usaha berteologi yang menghasilkan teologi yang menjawab permasalahan atau answering theology. Teologi yang menjawab itu adalah fungsional yang diupayakan oleh manusia. Dengan cara inilah agama Kristen dapat melahirkan kebudayaan.

Pada pihak lain perlu disadari bahwa cara bertheologi menghubungkan teks dengan situasi lokal (konteks) memerlukan kejelian: pertama, agar teks tidak dikaburkan oleh konteks demi kepentingan konteks, kedua, agar teologi yang menjawab permasalahan itu jangan dianggap telah final, tanpa menyadari keterbatasannya, ketiga agar menyadari bahwa konteks terus menerus berubah yang mengharuskan suatu usaha yang terus menerus.

Perlu disadari bahwa teologi yang menjawab tersebut bukanlah Injil itu sendiri, melainkan suatu hasil yang diupayakan orang Kristen yang committed terhadap Injil. Hal ini juga berarti bahwa pelaku-pelaku teologi haruslah bergerak dari teks terhadap konteks dan teks itu tetap bergaung terhadap konteks yang digumulinya sehingga keuniversalan Injil itu bergema dalam sub kultur Kristen dimana sajapun.

Dengan mengandalkan teologi kontekstual yang menjawab permasalahan, maka orang Kristen dapat mengadakan pendekatan sosial terhadap penganut agama lain, umpamanya melalui sub kultur Kristen batak ummat Kristen mendekati orang-orang Batak yang beragama Islam, Hindu dan Buddha dengan asumsi bahwa setiap penganut agama-agama di Indonesia sedikit banyaknya telah dimasuki oleh sub kultur etnis tertentu. Inilah salah satu point of contact yang dapat dipergunakan oleh penganut antar agama untuk mencapai kerukunan yang dinamis.

KEPUSTAKAAN

Berkhof, I. H, Sejarah Gereja, Jakarta, BPK G Mulia, 1986.

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, PT. Renaka Cipta, 1990.

Niebuhr, Richard, H, Christand Culture, terj. Satya Karya, jakarta : Petra Jaya, tt.

Tobing, Ph, L, The Stucture Of Toba Batak Belief In The High God, Amsterdam, Jacob Van Kanpen, 1963.

Tillich,Paul, Systematic Theology I, Chicago, SCM Press, 1984.